Minggu, 15 Juli 2018

Cahaya

Share it Please

-       CAHAYA   -

“Ratusan hari ku mengenalmu,
Ratusan alasan kamu berharga..”

“Dim!”

Dimas yang sedang jalan kaki menuju parkiran, seketika berbalik badan saat mendengar seseorang memanggilnya. Dia pun melihat Rani sedang lari menghampirinya, entah apa yang membuatnya harus berlarian seperti itu.
“Ada apa sih, Ran? Sampe lari-lari segala”
Dilihatnya Rani yang sedang mengatur napas di depannya.
“Kenapa Ran? Santai aja kali gausah bur-“
“Dim, gue suka sama lo” ucap Rani memotong kalimat Dimas

Sedetik. Dua detik.

Dimas hanya diam.

----------

Hari itu matahari sedang melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu memberikan sinar yang sangat terik ke permukaan. Hari Sabtu selalu jadi hari favorit bagi semua kalangan, baik itu pelajar, pekerja kantoran, maupung pedagang kaki lima karena memungkinkan mendapat banyak orderan saat malam hari. Namun hari Sabtu yang difavoritkan ini seketika hilang karena kegiatan orientasi yang harus didatangi oleh mahasiswa baru.  

“Ah, panasnya ga karuan nih.” Rani yang berdiri di barisan terpojok bergumam pelan
“Iya emang, namanya juga siang. Kalau malam terik kayak gini malah aneh.” Rani yang mendengar gumamannya dijawab dengan gumaman kecil di sampingnya langsung menoleh.
Apa sih ni orang? gumam Rani dalam hati.
“Hahaha. Santai aja kali ngeliatinnya. Gue setuju loh panasnya ga karuan. Oiya, gue Dimas.” Dimas tersenyum melihat Rani yang belum memberikan sinyal kalau dia mengerti apa yang diucapkan oleh Dimas.
“Oh, iya. Gue Rani.” Rani sedikit tersenyum saat memperkenalkan dirinya karena sejujurnya dia masih bingung.

----------

“Dim?” Rani memberanikan diri untuk membuka pertanyaan karena sudah semenit lebih Dimas diam tidak menjawab apapun pengakuan Rani.

Hening.

“Dimas?”
“Kenapa Ran? Maksud gue, kenapa tiba-tiba?” jawab Dimas akhirnya
“Ngga tiba-tiba, Dim. Udah lama. Guenya aja yang baru ngomong. Gue suka sama lo.” Ulang pengakuan Rani di siang hari seakan-akan pengakuannya tidak menunjukkan sedikitpun penyesalan namun memberikan keyakinan seperti matahari yang ada di atas kepala mereka berdua memberikan begitu banyak cahaya dan energi untuk berkata jujur kepada sahabatnya yang sudah menemani hari-hari perkuliahannya selama 3,5 tahun.

----------

“Raniii!”
Rani yang hendak memanggil ojek di depan gedung fakultasnya langsung berbalik badan saat mendengar namanya dipanggil.
“Dimas? Kenapa?” Bener Dimas kan ya? Rani tidak yakin karena dia sulit menghafal nama
“Mau pulang? Ke mana? Kost atau rumah?” Dimas langsung banyak bertanya seakan-akan tidak mengerti kalau Rani masih bingung.

Oh bener Dimas. Tapi kenapa tiba-tiba manggil? Ujar Rani dalam hati.

“Ran?”
“Eh, iya. Gue balik ke kost.” Duh kenapa bengong sih, Ran.
“Yaudah, bareng gue aja yuk. Daripada naik ojek, lumayan kan ngirit ongkos.” Ajak Dimas
Eh? Seketika Rani sadar kalau dia kembali melamun. “Maksudnya?”
“Ya gue nganter lo balik ke kost. Gimana?”
“Eh.. Oh, iya.. tap-“
“Yaudah, yuk.” Dimas memotong perkataan Rani dan langsung balik badan lalu berjalan menuju motornya.

Ehh? Maksud gue kan iya gue ngerti tapi gue gamau. Aduh, aneh banget sih ini anak. Rani yang kebingungan tetap berjalan mengikuti Dimas tapi kesal dalam hati.

----------

“… Tak mudah lagi sendu mengganggu
Kau tahu cara buatku tertawa
Tak mudah kusut dalam kemelut
Kau tahu cara mengurai semua…”

----------

Setelah insiden “pulang bareng” yang tidak sengaja itu, Dimas semakin sering mengajak ngobrol Rani saat mereka dalam kelas yang sama. Memang hanya dua kelas yang Rani ambil sama dengan Dimas, tapi dalam seminggu bertemu 4 kali di kelas sudah cukup melelahkan bagi Rani. Hal-hal yang dibicarakan Dimas selalu tidak penting menurut Rani. Sampai suatu saat Rani akhirnya kesal dan bertanya ke Dimas.

“Dim, kenapa sih lo ngajak gue ngobrol mulu?”
“Emang kenapa? Seru lagi.” Jawab Dimas sambil merapihkan catatannya ke dalam tas.
“Ya gapapa, cuman kan ri-“
“Gapapa kan? Pulang yuk.” Potong Dimas sambil berjalan ke luar kelas
Ih itu anak bener-bener deh. Kalau gak motong omongan gue ya ngomong terus gaada remnya.
“Ran, ngapain bengong? Ayo balik.” Dimas memanggil Rani dan tersenyum seakan-akan tahu kalau Rani tidak nyaman dengan sikapnya.
“Iya, iya.” Rani pun berdiri lalu berjalan meninggalkan kelas menghampiri Dimas.

Di jalan menuju kost Rani, Dimas tidak banyak omong seperti biasanya. Rani yang sudah siap mendengar kebawelan Dimas mendadak bingung harus berkata apa.
“Ran” ujar Dimas akhirnya memecah keheningan
“Eh, iya kenapa Dim?” Ngomong juga ni anak
“Lo risih ya gue ajak ngobrol mulu?”
Aduh. Jawab apa ya gue.
“Ran? Gapapa kok, bilang aja”
“Hm.. Gimana ya Dim. Gue bingung aja, soalnya sebelumnya gapernah ada orang kayak lo yang tiba-tiba memperkenalkan diri ke gue terus ngajak gue ngobrol terus-terusan. Kayak aneh aja, Dim. Mungkin gue ga kebiasa karena di SMA gue dulu gue termasuk orang yang susah bergaul.” aku Rani yang kemudian dia sadar kalau dia tidak pernah selancar ini ngomong ke seseorang
“Hehehe. Gitu dong, Ran. Kan gue seneng kalau lo ngomongnya panjang gini. Jadi gue beneran ngomong sama manusia, bukan tembok.”
“Apaan sih, Dim.” Rani bingung harus berkata apa karena Dimas menjawabnya bercanda. Tapi kemudian Rani sadar, Dimas berkata seperti itu hanya karena ingin membuat Rani nyaman dan tidak nervous seperti biasanya. Sejak saat itu, Rani yakin Dimas adalah orang yang tepat.

----------

“Tapi ini tiba-tiba, Ran. Kenapa? Udah 3,5 tahun loh, Ran. Kenapa tiba-tiba jadi gini?” Dimas bertanya ke Rani yang sebenarnya Dimas sudah tahu dengan apa yang dirasakan Rani beberapa bulan ini dan itu yang makin membuatnya semakin bingung saat ini.
“Ngga tiba-tiba, Dim. Gue cuman ngomong aja kok, gaada maksud lebih. Gue seneng banget punya sahabat kayak lo 3,5 tahun ini. Bahkan tadi lo udah selesai sidang skripsi yang artinya lo udah mau lulus dan berarti lo harus balik ke Padang kan buat bantuin orang tua lo?”
“Ran..”
“Gue cuman jujur, Dim. Selama ini lo yang ngajarin gue buat berani jujur sama apa yang ada di pikiran gue dan sekarang gue bisa.”
“Tapi gue ga-“
“Iya gue tau kok lo gabisa. Gapapa, Dim. Gue cuman jujur aja.”
“Nanti pas gue balik ke Jakarta lagi, gue pasti ngabarin lo, Ran. Tunggu gue ya.” Ran, maafin gue. Saat ini pikiran gue belum ke sana. Mungkin beberapa tahun lagi dan gue harap perasaan lo masih sama.
“Iya, Dim. Yaudah yuk pergi. Lo udah sidang harus dirayain dong. Yuk.” Rani meninggalkan Dimas yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Dim, ngapain bengong? Ayo buruan.” Rani memanggil Dimas dan tersenyum persis seperti yang biasa dilakukan Dimas kalau Rani sedang melamun.



“…Duhai cahaya terima aku
Aku ingin kau lihat yang kau punya
Aku ingin kau kembali bisa
Percaya pada diri dan mampumu…”
-       CAHAYA / TULUS  -



THE END.


1 komentar:

Followers

Search

Follow The Author