-
CAHAYA -
“Ratusan
hari ku mengenalmu,
Ratusan
alasan kamu berharga..”
“Dim!”
Dimas yang
sedang jalan kaki menuju parkiran, seketika berbalik badan saat mendengar
seseorang memanggilnya. Dia pun melihat Rani sedang lari menghampirinya, entah
apa yang membuatnya harus berlarian seperti itu.
“Ada apa sih,
Ran? Sampe lari-lari segala”
Dilihatnya Rani
yang sedang mengatur napas di depannya.
“Kenapa Ran?
Santai aja kali gausah bur-“
“Dim, gue suka
sama lo” ucap Rani memotong kalimat Dimas
Sedetik. Dua detik.
Dimas hanya
diam.
----------
Hari itu
matahari sedang melaksanakan tugasnya dengan baik, yaitu memberikan sinar yang
sangat terik ke permukaan. Hari Sabtu selalu jadi hari favorit bagi semua
kalangan, baik itu pelajar, pekerja kantoran, maupung pedagang kaki lima karena
memungkinkan mendapat banyak orderan saat malam hari. Namun hari Sabtu yang
difavoritkan ini seketika hilang karena kegiatan orientasi yang harus didatangi
oleh mahasiswa baru.
“Ah, panasnya
ga karuan nih.” Rani yang berdiri di barisan terpojok bergumam pelan
“Iya emang,
namanya juga siang. Kalau malam terik kayak gini malah aneh.” Rani yang
mendengar gumamannya dijawab dengan gumaman kecil di sampingnya langsung
menoleh.
Apa sih ni orang? gumam Rani dalam hati.
“Hahaha. Santai
aja kali ngeliatinnya. Gue setuju loh panasnya ga karuan. Oiya, gue Dimas.”
Dimas tersenyum melihat Rani yang belum memberikan sinyal kalau dia mengerti
apa yang diucapkan oleh Dimas.
“Oh, iya. Gue
Rani.” Rani sedikit tersenyum saat memperkenalkan dirinya karena sejujurnya dia
masih bingung.
----------
“Dim?” Rani
memberanikan diri untuk membuka pertanyaan karena sudah semenit lebih Dimas
diam tidak menjawab apapun pengakuan Rani.
Hening.
“Dimas?”
“Kenapa Ran?
Maksud gue, kenapa tiba-tiba?” jawab Dimas akhirnya
“Ngga
tiba-tiba, Dim. Udah lama. Guenya aja yang baru ngomong. Gue suka sama lo.” Ulang
pengakuan Rani di siang hari seakan-akan pengakuannya tidak menunjukkan
sedikitpun penyesalan namun memberikan keyakinan seperti matahari yang ada di
atas kepala mereka berdua memberikan begitu banyak cahaya dan energi untuk berkata
jujur kepada sahabatnya yang sudah menemani hari-hari perkuliahannya selama 3,5
tahun.
----------
“Raniii!”
Rani yang hendak
memanggil ojek di depan gedung fakultasnya langsung berbalik badan saat mendengar
namanya dipanggil.
“Dimas? Kenapa?”
Bener Dimas kan ya? Rani tidak yakin
karena dia sulit menghafal nama
“Mau pulang? Ke
mana? Kost atau rumah?” Dimas langsung banyak bertanya seakan-akan tidak
mengerti kalau Rani masih bingung.
Oh bener Dimas. Tapi kenapa tiba-tiba manggil? Ujar Rani dalam
hati.
“Ran?”
“Eh, iya. Gue
balik ke kost.” Duh kenapa bengong sih,
Ran.
“Yaudah, bareng
gue aja yuk. Daripada naik ojek, lumayan kan ngirit ongkos.” Ajak Dimas
Eh? Seketika Rani sadar kalau dia kembali
melamun. “Maksudnya?”
“Ya gue nganter
lo balik ke kost. Gimana?”
“Eh.. Oh, iya..
tap-“
“Yaudah, yuk.”
Dimas memotong perkataan Rani dan langsung balik badan lalu berjalan menuju
motornya.
Ehh? Maksud gue kan iya gue ngerti tapi gue gamau.
Aduh, aneh banget sih ini anak. Rani yang kebingungan tetap berjalan
mengikuti Dimas tapi kesal dalam hati.
----------
“… Tak mudah lagi sendu mengganggu
Kau tahu cara buatku tertawa
Tak mudah kusut dalam kemelut
Kau tahu cara mengurai semua…”
----------
Setelah insiden
“pulang bareng” yang tidak sengaja itu, Dimas semakin sering mengajak ngobrol
Rani saat mereka dalam kelas yang sama. Memang hanya dua kelas yang Rani ambil
sama dengan Dimas, tapi dalam seminggu bertemu 4 kali di kelas sudah cukup
melelahkan bagi Rani. Hal-hal yang dibicarakan Dimas selalu tidak penting
menurut Rani. Sampai suatu saat Rani akhirnya kesal dan bertanya ke Dimas.
“Dim, kenapa
sih lo ngajak gue ngobrol mulu?”
“Emang kenapa?
Seru lagi.” Jawab Dimas sambil merapihkan catatannya ke dalam tas.
“Ya gapapa,
cuman kan ri-“
“Gapapa kan?
Pulang yuk.” Potong Dimas sambil berjalan ke luar kelas
Ih itu anak bener-bener deh. Kalau gak motong omongan
gue ya ngomong terus gaada remnya.
“Ran, ngapain
bengong? Ayo balik.” Dimas memanggil Rani dan tersenyum seakan-akan tahu kalau
Rani tidak nyaman dengan sikapnya.
“Iya, iya.”
Rani pun berdiri lalu berjalan meninggalkan kelas menghampiri Dimas.
Di jalan menuju
kost Rani, Dimas tidak banyak omong seperti biasanya. Rani yang sudah siap
mendengar kebawelan Dimas mendadak bingung harus berkata apa.
“Ran” ujar
Dimas akhirnya memecah keheningan
“Eh, iya kenapa
Dim?” Ngomong juga ni anak
“Lo risih ya
gue ajak ngobrol mulu?”
Aduh. Jawab apa ya gue.
“Ran? Gapapa
kok, bilang aja”
“Hm.. Gimana ya
Dim. Gue bingung aja, soalnya sebelumnya gapernah ada orang kayak lo yang
tiba-tiba memperkenalkan diri ke gue terus ngajak gue ngobrol terus-terusan.
Kayak aneh aja, Dim. Mungkin gue ga kebiasa karena di SMA gue dulu gue termasuk
orang yang susah bergaul.” aku Rani yang kemudian dia sadar kalau dia tidak
pernah selancar ini ngomong ke seseorang
“Hehehe. Gitu
dong, Ran. Kan gue seneng kalau lo ngomongnya panjang gini. Jadi gue beneran
ngomong sama manusia, bukan tembok.”
“Apaan sih,
Dim.” Rani bingung harus berkata apa karena Dimas menjawabnya bercanda. Tapi
kemudian Rani sadar, Dimas berkata seperti itu hanya karena ingin membuat Rani
nyaman dan tidak nervous seperti
biasanya. Sejak saat itu, Rani yakin Dimas adalah orang yang tepat.
----------
“Tapi ini
tiba-tiba, Ran. Kenapa? Udah 3,5 tahun loh, Ran. Kenapa tiba-tiba jadi gini?”
Dimas bertanya ke Rani yang sebenarnya Dimas sudah tahu dengan apa yang
dirasakan Rani beberapa bulan ini dan itu yang makin membuatnya semakin bingung
saat ini.
“Ngga
tiba-tiba, Dim. Gue cuman ngomong aja kok, gaada maksud lebih. Gue seneng
banget punya sahabat kayak lo 3,5 tahun ini. Bahkan tadi lo udah selesai sidang
skripsi yang artinya lo udah mau lulus dan berarti lo harus balik ke Padang kan
buat bantuin orang tua lo?”
“Ran..”
“Gue cuman
jujur, Dim. Selama ini lo yang ngajarin gue buat berani jujur sama apa yang ada
di pikiran gue dan sekarang gue bisa.”
“Tapi gue ga-“
“Iya gue tau
kok lo gabisa. Gapapa, Dim. Gue cuman jujur aja.”
“Nanti pas gue
balik ke Jakarta lagi, gue pasti ngabarin lo, Ran. Tunggu gue ya.” Ran, maafin gue. Saat ini pikiran gue belum
ke sana. Mungkin beberapa tahun lagi dan gue harap perasaan lo masih sama.
“Iya, Dim.
Yaudah yuk pergi. Lo udah sidang harus dirayain dong. Yuk.” Rani meninggalkan
Dimas yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Dim, ngapain bengong?
Ayo buruan.” Rani memanggil Dimas dan tersenyum persis seperti yang biasa
dilakukan Dimas kalau Rani sedang melamun.
“…Duhai cahaya terima aku
Aku
ingin kau lihat yang kau punya
Aku
ingin kau kembali bisa
Percaya
pada diri dan mampumu…”
-
CAHAYA /
TULUS -
THE END.
Mananih kah kok engga ada yang terbaru sih
BalasHapus